Serpihan Itu
Waktu berjalan cepat,
bahkan terlalu cepat. Hingga tak kusadari rongga-rongga hati yang dulu pernah
terisi, kini tiada lagi. Aku rasa, ini kesalahanku. Bodoh. Membiarkan riak-riak
gelombang kecil itu menjadi membadai rindu. Tak kusadari kini telah terbiasa. Terbiasa
mengintip kecil, atau bahkan keseluruhan. Kenapa? Kenapa tak ku hempaskan saja
rindu itu. Menebangnya menjadi helaian kertas, atau mencabik dan mencincangnya
menjadi serpihan tak berguna.
Namun, untuk apa? Terkadang
hal-hal seperti ini sebagai motivasi tinggi. Hingga ku temukannya dalam keadaan
sobekan-sobekan kecil. Mencoba menyatukannya kembali. Engkau mungkin benar, tak
seharusnya seperti ini. Seperti yang pernah Kau bisikkan padaku, “Semua itu
kembali pada cermin”. Apa daya, cermin itu kini usang. Banyak noktah hitam sana
sini. Engkau juga pernah berkata “Tak ada yang tak mungkin, semua itu tergantung
dirimu”. Baiklah, perlahan akan ku bersihkan setiap noktah yang menghalangi
pandangan. Membersihkan setiap debu yang menempel, Kau juga pernah berbisik
bukan? “Pelan-pelan saja, Aku menyukai yang sedikit tapi terus menerus”.
Engkau sungguh baik, tidak
seperti dia yang terkadang memecahkan tangis rinduku. Aku ingin terbiasa
dekat dengan Engkau. Tak seperti yang lain, ku jalani titahku sebagai hambaMu
yang perlu perbaikan, setiap waktu.
Aku bukan sedang sedih,
Kau tahu bahkan lebih dalam dari itu. Biarlah semua hanya menjadi memoar dari
setiap serpihan rinduku.
0 komentar