Semburat senja kini kian
memerah merona. Mungkin sekali, dua kali pernah kutemui rona senja seperti ini.
Hanya saja, berbeda tempat. Di atap kos-kosan yang terdiri dari tiga lantai,
cukup untuk memandangi keindahan langit jinggaMu.
Perasaan ini terkadang
kembali terulang, saat seseorang menyebutkan satu nama. Deg! Lupakan. Dia hanya
masa lalu yang menghentak diri ini agar senantiasa berjaga dari perbuatan yang
membuatku menyesal.
***
Terkisahlah antara seekor
burung dengan pohon apel. Mungkin diantara burung yang lain dialah burung yang
aneh. Bagaimana tidak, kemana saja ia selalu sendiri, bahkan di usianya yang
telah beranjak dewasa (untuk seekor burung). Suatu hari, ia merasa kesepian. Di
kejauhan ia melihat sebuah pohon berdiri kokoh dengan rimbunan buah apel
berwarna merah yang hummm, ranum sekali.
“Hai pohon Apel, bolehkah
aku beristirahat sejenak di dahanmu yang kuat ini?” tanya burung itu.
“Hoi, tentu saja burung
cantik. Kau tentu boleh sekali menaiki dahan-dahanku” jawab pohon itu dengan
senyum penuh wibawa.
Burung kecil pun
beristirahat di salah satu dahan milik pohon Apel. Sejenak ia mengamati
lingkungan di sekitar mereka. Burung-burung seperti dirinya pun terbang
kesana-kemari, meliuk indah diantara hembusan angin. Sedangkan pohon Apel juga
melihat pasangan burung itu terbang kian kemari. Pohon Apel sejenak
memerhatikan sepasang bola mata burung kecil yang ada di dahannya. Tersirat
sekali bahwa burung kecil itupun ingin terbang seperti kawannya.
“Hei burung kecil, maukah
kamu aku berikan salah satu buah Apel ku?”
“Terimakasih pohon, aku
belum lapar.” Jawabnya.
Entah apa yang dipikirkan
oleh burung kecil itu. Sesekali matanya berkaca-kaca. Seakan-akan ada hal yang
dipendamnya.
“Bila engkau berkenan,
maukah kau menceritakan apa saja yang kau ingin ceritakan padaku?” tanya pohon
Apel pada burung kecil dengan hati-hati.
“Ah, aku hanya sedikit
lelah.”
“Tak mungkin hanya lelah
jika kau terus berada di dahanku dengan mata yang berkaca-kaca seperti itu.
Kalau tak keberatan, ceritakanlah. Aku pun sudah rindu sekali ingin
mendengarkan cerita orang lain. Apalagi jika dia sedang bersamaku.” Ucap sang
pohon sekali lagi.
Burung kecil itupun tak
sanggup lagi menahan air matanya tumpah dari kedua bola matanya. Kicauannya pun
kini berisi isak yang tertahan. Pohon Apel pun terkesima, menyangka betapa
beban burung kecil ini seakan-akan mengubahnya dari periang menjadi burung yang
memiliki luka yang sangat parah.
“Maaf, jika kedatanganku
kesini mengganggumu pohon, sungguh aku tak berniat. Mulanya aku hanya ingin
beristirahat. Namun, setelah melihat kedua burung disana, aku merasa, aku
kesepian. Benar-benar merasa kesepian. Tubuhku lemah, aku tak bisa bayangkan
bila hidup terus menyendiri dan aku mati dalam keadaan sendiri seperti ini. Aku
hanya butuh teman. Teman yang dapat menerimaku apa adanya.” Jelas burung kecil
sambil terisak.
Sang pohon Apel hanya
tersenyum. Ia kemudian memanggil salah satu burung kecil yang lain yang tinggal
di dalam pohon Apel. Pohon Apel hanya menggoyangkan sedikit dahannya. Burung
kecil yang telah lama itupun terkejut.
“Ada apa pohon? Sudah
waktunya kah?” tanya burung itu.
“Tak apa, aku hanya ingin
mengenalkanmu dengan teman baruku ini. Perkenalkan, ini temanku sejak beberapa
bulan yang lalu.” Ucap pohon pada burung kecil.
“Dan ini, teman baruku
yang cantik bukan?”
“Hehe, dia tidak
cantik...”
Burung kecilpun menunduk,
sudah cukup. Semua resah dalam hatinya memuncak menjadi sebuah kebencian pada
dirinya sendiri. Ia terbang, pergi. Melewati barisan pepohonan, meninggalkan
pohon Apel dan kawannya. Dengan perih ia mencoba terbang. Mengepakkan sayapnya.
Menahan perihnya luka. Sekuat apapun mencoba, burung kecil itu lemah. Ia tiada
mampu terbang terlalu jauh. Ia mengepakkan sayap kecilnya terus menerus. Hingga
datang seorang manusia pemburu yang sedang kesal sebab hewan buruannya tak
tertembak. Manusia itu menembakkan senjatanya ke langit. Tanpa tujuan.
Darr! Akh, burung kecil
yang menyimpan luka itu kini terjatuh dari ketinggian langit. Menghempas ke
bumi.
“Sudahlah aku lemah tiada
berdaya. Kini aku akan mati tanpa berdaya.” Ucap burung kecil itu.
Sayapnya patah, hatinya
hancur, dan pelupuk matanya dibasahi oleh penyesalan.
Ah, selalu. Diam-diam
burung kawan pohon Apel itupun datang.
“Aku sudah mengikutimu
jauh sekali. Bahkan aku yakin kau ini tidak lemah seperti yang kau ceritakan
pada pohon Apel itu. Kau ini kuat, dan luar biasa. Aku belum selesai bicara,
aku hanya ingin mengatakan. Kau ini tidak cantik, namun kau sangat cantik.
Bahkan sebelum aku melihatmu. Maaf aku menguping semua ceritamu pada pohon Apel
itu.” Cerita burung kawan pohon Apel.
Burung kecil itu sekarat.
Namun, ia tersenyum.
“Aku pun sama sepertimu,
dulu. Aku merasa dikucilkan oleh kawan-kawanku. Akupun akhirnya pergi
meninggalkan mereka. Karena aku yakin, bahwa ditempat lain pun aku bisa
dihargai.” Lanjut burung kawan pohon Apel.
Manusia pemburu itu
melihat bahwa burung yang tak sengaja terkena tembakannya itu jatuh terkapar,
dan sekarat. Ia akhirnya menembakkan kali kedua senjatanya pada burung itu.
Namun, pada burung kawan pohon Apel.
Darr! Suara tembakan itu
nyaring kembali. Alampun sunyi. Meninggalkan manusia pemburu yang (mungkin) tak
pernah mengerti apa itu arti kehidupan dan kesempatan.
***
Senja semakin pekat saja.
Sudah waktunya beristirahat. Masih ada tugas-tugas dan amanah-amanah lain yang
menunggu untuk disambangi dan dikerjakan.
Keep POSITIVE THINKING and Keep
ISTIQOMAHAMASAH!!!
@yulinsar
0 komentar