Tenggelam
di sudut malam, aku terduduk lesu melihat map merah ada di atas meja belajarku.
Ah, kenapa seperti ini jadinya? Kata-kataku di masa lalu pada ayah membuatku
sekarang merasa harus mempertanggung-jawabkan semuanya. Kulihat jam dinding
kost ku menunjukkan pukul 02.45 WIB, waktu yang pas untuk mengadu padaNya. Ya,
hanya padaNya.
***
“Hem,
judul udah pas. Oke judul saya acc, sekarang kamu focus yah untuk skripsinya”
Ucap Bu Nida melegakanku.
“Serius
bu? Terimakasih bu” tanyaku memastikan bahwa ini bukan hanya mimpi. Setelah
sekian lama gonta-ganti judul skripsi, akhirnyaaaa. Aku pamit pada bu Nida
dengan melemparkan senyum semanis-manisnya “Assalamu’alaikum.”.
Setelah
konsultasi judul dengan bu Nida ku lirik note-ku, “Ooo.. ke sekretariat UKM
ambil rekap absensi”. Jadwal ku tertera di buku agenda itu, termasuk “Aha, sore
ini harus telepon ayah, hemm pasti map itu lagi yeah oke”. Ku segerakan langkah
kaki ini melangkah ke sekretariat yang letaknya lumayan jauh dari tempatku
berdiri sekarang tentunya. Di jalan menuju gedung pusat kegiatan mahasiswa aku
bertemu Ririn dan Anindya, segera kami berjabat tangan dan cipika-cipiki.
“Assalamu’alaikum
ukh, mau kemana?” tanya Ririn.
“Wa’alaikumussalam,
ini ukh mau ke sekretariat ada yang harus di ambil” jawabku.
“Oh
iya ukh, ada undangan dari kak Elisa tuh, beliau akan menikah Juni nanti, anti
kapan nyusul hehehe?” kabar Anin.
“Wah,
barakallah.. ukhti Anin aja dulu.. ana insyaallah secepatnya hehe” jawabku
sekenanya. Setelah itu mereka berlalu, menyisakan sedikit keraguan dalam hati,
“Secepatnya?
Ah, ya secepatnya”
***
Aku
Liyana Zaahirah mahasiswi di UIN Jakarta, asalku dari Lampung jauh-jauh
menyebrang pulau hanya untuk mengejar cita-citaku menjadi seorang guru fisika.
Awal ketertarikanku dengan kampus ini adalah, yak karena kampus Islam, bukan
karena di Lampung tak ada kampus Islam. Tapi ya karena aku sudah cinta dengan
kampusku ini. Cinta, bukan berarti aku termasuk dalam golongan MaBa (Mahasiswa
abadi) loh? Di semester ke 8 ini hampir PPKT ku selesai dan sudah mulai
mengerjakan skripsi.
***
Ku
tengok jam tanganku menunjukkan pukul 5 sore. Dan saatnya menutup pelajaran
anak-anak TPA yang ku bina.
“Baik
anak soleh dan solehah, waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, saatnya mengucap
hamdalah atas nikmat Allah berupa ilmu yang di berikan hari ini untuk kita
semua”
“ALHAMDULILLAHIROBBIL
A’LAMIIN” ucap mereka bersamaan.
“Seperti
biasa kita tutup dengan membaca surah Al-Asr dan doa kafaratul majlis ya”.
***
Lucunya
anak-anak membuatku semakin semangat mengerjakan skripsiku agar bisa membina
mereka lebih intens lagi. Awet muda. Ups, sepertiya ada yang terlewatkan hari ini,
ku buka kembali catatanku. “Astaghfirullah, ayah” segera ku ambil handphone dan
menelpon ayah.
“Tuuut,
tuuut, tuuut cklk Assalamu’alaikum?” suara ayah membuka percakapan.
“Waalaikumussalam,
ayah maaf Zaa lupa kalau sore ini harus telpon ayah, keasyikan ngajar” jelasku.
“Oh,
iya gapapa kok. Ayah cuma mau menanyakan, apakah kamu sudah siap Zaa? Tanya
ayah.
“…”
hening, aku mereview ikhtiarku kemarin-kemarin secepat kilat.
“Zaa?”
tegur ayah.
“Hemm,
Bismillah, dengan mengaharap ridho Allah, jika ayah suka Zaa juga suka. Zaa
yakin pilihan ayah itu yang terbaik dari Allah” ucapku dengan menghela nafas
panjang.
“Alhamdulillah,
ya sudah. Kamu baik-baik ya di sana, insyaallah secepatnya ayah akan beri
kabar. Wassalamu’alaikum” ayah menutup teleponku bahkan aku belum menjawab
salamnya.
“Waalaikumussalam”
rintihku.
***
Munajatku
malam ini tak seperti hari kemarin, lebih mengena di hati. Ku teringat kembali
saat pagi hari di saat ayah melihat teman sebayaku Nunik yang pergi di bonceng
oleh teman lelakinya.
***
“Zaa, kamu ga jalan-jalan seperti Nunik
tu? Apa kamu belum punya pacar?” tanya Ayah. Setelah meletakkan teh dan kue aku
duduk di sebelah Ayah sambil tersenyum.
“Yah, hubungan yang di jalani Nunik itu
ga asyik ah, ga seru.. Rasul aja gak pernah memberi contoh seperti itu? Yah,
dalam Islam, setau Zaa tidak mengenal istilah pacaran kayak Nunik dan teman
lelakinya itu, Islam menjunjung tinggi kesucian tanpa berlepas dari fithrah
manusia untuk bercintakasih, makanya sebagai penyaluran hasrat cinta kasih itu,
Islam memberi jalan dengan menikah. Jadi nanti bila ada ikhwan atau lelaki
soleh yang datang menghadap Ayah, ibu atau mamang Dani untuk melamar atau
mengkhitbah Zaa, asalkan diin-nya baik. Insyaallah Zaa siap. Zaa cukup pacaran
setelah menikah, nikmat.. halal lagi?” ucapku panjang lebar pada ayah.
***
Ya
Allah kini kau uji aku dengan perkataanku dulu. Tess, air mata itu tak bisa di bendung
lagi. Insyaallah aku siap, lagipula kata ayah lelaki itu baik dan bisa menjadi
tempat bertukar fikiran ayah. Siapa namanya? Kubuka kembali map yang memuat
data-data lelaki itu. Baru kali ini aku membukanya, entah mengapa aku begitu
yakin dengan keputusanku. Ahmad Fauzi Abdurrahman, lulusan S2
Universitas Al-Azhar jurusan tafsir hadits, umur 25 tahun, pekerjaan berjuang
di jalan Allah, mengikuti jejak Rasulullah berdagang. Subhanallah. Tidak ada
foto selembarpun terselip di sana. Hem, semoga inilah yang terbaik. Ku akhiri
malamku dengan tetesan air mata.
***
Hari
ini minggu pagi yang cerah. Aku libur, setelah sholat subuh ku lanjutkan dengan
tilawah ringan murojaah hafalanku, ku lanjutkan dengan memulai skripsiku, bab
1. Perutku mendadak lapar, memaksa diri ini melangkah keluar membeli sayuran
untuk di masak.
***
Drrrtt,
drrrtt, drrtt, getar handphoneku menandakan sms masuk. Dari ayah.
“Aslm, Zaa. Maf jka ini trlalu mndadak.
Smalam stlh sorenya km mmbrikan kptusan, klrg Ahmad dtg k rmh utk silaturrahim
skaligus mnanyakan bgmn klanjutannya. Ayah jwab ssuai jwabanmu Zaa. Ayah mngambil
kputusan utk brtnya atau bs di blg mnantang Ahmad utk ijab qobul pagi ini. Baru
saja ijab qobulmu di laksanakan, dn maharmu adlh sbuah mushaf qur’an yg sllu di
bawany, sbuah cincin emas dan hafalan surat Ar-Rohman Zaa. Kini kamu sudah
bukan bidadari kecil ayah lagi Zaa, kamu sudah menjadi bidadari penyejuk
suamimu. Jadi istri yg solihah ya nak.”
***
Tss,
tss.. derai air mataku menyeruak tumpah dan mengalir deras di pipi. Janjimu
kini datang ya Robb. Tak lama setelah itu hpku kembali berdering, ayah
menelpon. Namun bukan suara ayah ku dengar, melainkan suara ibu.
“Assalamualaikum
Zaa, barakallah ya nak.. ayahmu masih belum mau bicara jadi ibu yg menelpon”
buka ibu.
“Waalaikumussalam
bu, iya.. hiks, hiks.. Zaa masih belum bisa percaya bu.. Zaa udah bersuami
sekarang, hiks.. apa tidak ada nomor yang bisa Zaa hubungi pada suami Zaa??”
tanyaku.
“Kata
nak Ahmad, kamu tidak usah hubungi dia, biar dia nanti yang menemuimu di sana ya,
siang ini Ahmad akan terbang ke Jakarta Zaa.. romantis kan” jawab ibu.
“Ah
ibu, bisa saja..” Setelah bercerita banyak dengan ibu. Hari ini jantungku amat
berdegup kencang, hingga malam ku tunggu suamiku tak kunjung hadir.
***
Saat
dini hari menyapa, kutumpahkan haruku padaNya semata. Selepas subuh ada yang
mengetuk pintu. Ku rapihkan diriku sebaik mungkin.
“Huft,
lama amat bukanya Zaa? Pasti lagi nulis lagi deh ya?”
“Hah?
Kok kamu sih Dania???” ucapku.
“Lohh,
emang lagi nungguin siapa tohhhhhhhhhhhh?” tanyanya. Ku ceritakan panjang lebar
pada Dania semua, dari awal hingga akhir.
***
Pada
jam 9 pagi, ada yang mengetuk pintu, aku lupa bahwa di antara tamu nanti ada
suamiku. Bang Ahmad.
“Assalamu’alaikum,
permisi mba.. ini ada paket dari Lampung” ucap mas-mas itu.
“Paket
mas? Perasaan ga ada kabar kalo ada paketan dari ayah?” jawabku.
“Mungkin
dari yang lain kali mba, suaminya mungkin..” katanya sambil melirik ke arahku
kemudian tersenyum. Deg! Ih nih mas-mas kenapa lagi senyum-senyum segala,
batinku. Segera saja ku tundukan pandanganku.
“Yaudah
deh sini saya tanda tangani, di mana?”
“Disini
mba” ucapnya sambil menunjukkan mana yg harus di tandatangani.
“Tapi
mba, harus di buka di depan saya ya?” jelasnya. Ih nih orang benar-benar aneh.
“Loh
kok gitu mas? Ini kan paket punya saya, terserah saya dong mau buka dimana?”
sergahku kesal.
“Iya
mbak itu kan paketnya lain, kalo kami ini paketan khusus.” Jawabnya.
“Huh,
sudahlah turuti saja..” batinku. Setelah ku buka, isinya mushaf Qur’an dan
sepucuk surat dengan kertas warna pink.
“Dibaca
ya mbak suratnya” pintanya.
“Mas
ini pengen banget tau urusan orang yah???, maaf mas tidak bisa, sebelumnya
terima kasih.” Kututup pintu kostan semoga mas-mas bertopi dan berjanggut itu
segera pergi.
***
Namun,
setelah ku buka surat itu dan di sana tertulis.
“DIK, INI MAHARKU UNTUKMU, SURAT
AR-RAHMANNYA MAU AKU BACAKAN SEKARANG DI DEPANMU JUGA TIDAK???”
Haruku
melebur bersama air mata bahagia. “Jadi dia.. bang Ahmad??” Segera ku buka
pintu dan menengok keluar apakah dia masih disini. Setelah ku tengok kanan-kiri
beliau sudah tidak ada, apa mungkin dia tersinggung dengan ucapanku tadi? Aku
makin keras menangis.
Dari
balik tiang rumah “Nih, abang gak tega liat istri abang menangis” ucapnya
mengejutkanku dengan menyodorkan sebuah sapu tangan biru muda plus senyuman
tulus dari lelaki berjanggut tipis itu. Aku masih terdiam pada posisiku dan
menangis haru.
“Kita
menikah hari minggu kemarin dik? Mushaf itu sebagai maharku, dan ini KTPku
kalau adik masih belum percaya..” ucapnya sembari mengeluarkan kartu
identitasnya. Bang Ahmad mengambil
tanganku dan menyelipkan cincin emas di jari manisku sembari berucap “Dik,
maukah engkau menjadi teman hidupku hingga kita di syurga nanti???” “Mau bang,
mau.. oya eh tadi bayar ongkos kiriman mushafnya berapa?? hehe” “Zaaaaaaa….”
***
Dania
terbengong melihat kami berdua di depan pintu, ku lihat sinar matanya, ada
kilauan bening di matanya. “Barakallahulaka wa Baraka allahuma wal jama’a baina
kuma fii khoir” serunya. ^__________________^
***
@yulinsar
06 September 2013
06 September 2013
0 komentar