Selamat Pagi Matahariku!
Selamat
pagi matahariku.
Tak terasa sudah beberapa tahun aku
menjajaki pagi tanpamu. Air mata yang dulu sempat mengalir disela-sela seruput
susu panas itu kini sudah menemukan muaranya. Muara dari segala kesedihan yang
pernah kita lewati dahulu.
Kau tahu matahariku? Pagiku kini indah. Ya
meskipun tak begitu indah dibandingkan dahulu. Ingatkah saat-saat kita bersama
menyusuri jalan setapak di “hutan terlarang”, sebutan untuk ladang pak Haji dua
kali itu? Ingatkah ketika kita bersama di marahi pak RT karena ikan-ikan di
empangnya sudah terapung gara-gara pupuk kimia yang kita tebar bersama dikira
umpan ikan? Ah, bodoh. Itu sudah lama sekali. Mengingat itupun aku hanya
tersenyum kecil.
Kau yang sekarang entah dimana. Kau yang
selalu berjanji bahwa akan selalu bersamaku baik disaat kita punya permen atau
tidak. Iya, saat kita masih ingusan dahulu. Ingatkah? Aku masih mengingatnya
secara lengkap dan jelas.
Saat kita berjalan diiringi waktu. Dimana
semua keadaan yang mengubah kita yang lugu dan polos hingga kini mengerti
tentang apapun. Kau yang berjalan terlebih dahulu dibandingkan aku. Disaat kita
berjauhan dan mengerti tujuan hidup kita. Allah berkehendak lebih dari yang aku
duga sebelumnya.
Selamat
pagi matahariku.
Meski tak seindah dahulu. Inilah kebahagiaan
yang memuncak saat tahu bahwa tiba-tiba kau datang bersama murobbimu menemuiku
dan murobbiyahku. Tak kusangka anak yang dulu ingusan itu mengerti tentang
pernikahan. Ah, itu semua kan tentang waktu yang mengiringi.
Saat pertama aku mengenalmu lewat CV yang
diberikan guruku aku seperti pernah mengenalmu. Dari namamu. Bukan dari fotomu.
Ya bukan dari fotomu. Karena kau sungguh berbeda dari dahulu. Saking polosnya
pun kita sama-sama tak mengenal nama panjang satu sama lain. Namamu, Tubagus
Aidil Prasetio. Aku hanya tahu bahwa saat kita kecil aku memanggilmu Tio.
Apakah kamu benar Tio teman kecilku?
Nyata. Kau yang kini jauh berbeda dari masa
lalu. Kini kau sulit ku kenal. Bahkan aku tak dapat mengenalmu jika tak kau
yang memulai berbicara.
“Afwan, kamu Lisa Momon bukan?” tanyanya.
Degh! Darimana ia tahu namaku, apakah
setelah dia melihatku? Itu nama kecilku.
“Iya, kenapa akhi?”
“…”
“Afwan, kenapa antum tanya seperti itu? Apa
antum mengenal saya sebelumnya?” tanyaku balik.
“Iya ukhti. Ana Tio.” Jawabnya menahan
sesuatu. Kurasa itu tangis.
“…”
Haru kami saat bertemu pertama kali setelah
sekian tahun itu memuncak. Kami sibuk dalam isak.
Selamat
pagi matahariku.
Ingatkah direntang waktu dua pekan kita
bersatu dalam akad. Tak perlu besar dan mewah, tak perlu musik dan hiburan
lainnya. Hanya syukuran kecil mengundang tetangga dan kerabat dekat. Aku amat
ingat saat aku memegang dan kuciumi tangan kananmu. Meski bukan pertama kali,
karena kitapun pernah saling bergandengan dimasa lalu. Saat masih ingusan.
Selang berbilang bulan aku melahirkan putra
kita. Kembar! Aku sangat kerepotan mengurus mereka. Hingga sekarang aku tak
pernah tahu bagaimana membedakan anak kita meski ia telah dewasa. Hanya dapat
membedakan mereka dengan suara dan parfum yang mereka gunakan.
Maafkan aku matahariku. Aku tak dapat
memberikan mereka adik. Kanker yang kuderita ini merepotkanmu bukan? Sejak
dahulu aku telah banyak merepotkanmu. Ya, terlalu banyak.
Selamat
pagi matahariku.
Hari-hariku seketika kelabu saat menerima telepon
misterius dari seorang yang mengaku polisi. Dia bilang kau sudah meninggal
setelah kecelakaan beruntun terjadi di Simpang Lima Pondok Wangi. Ah, kau
bercanda pasti kan. Ini tanggal pernikahan kita. Pernikahan kita memasuki usia
8 tahun, kau pasti sedang merencanakan kejutan untukku seperti di tahun-tahun
sebelumnya, jawablah matahariku?
Nihil. Kedua orangtuaku datang kerumah
sambil menangis. Ah, kau bercandanya kelewatan Mas! Aku benci! Mengapa kau
meninggalkan aku secepat ini?! Mengapa sejak dahulu tak aku saja yang mati! Kini
aku harus mencari cahaya siapa? Mengapa harus kamu?! Kepalaku pusing, tumbang.
Selamat
pagi matahariku.
Kini seperti yang kau lihat dari sana.
Setelah 19 tahun berlalu. Aku hanya wanita renta yang sudah sulit berjalan.
Kini tiada lagi yang menggendongku saat aku lelah. Tiada teman untuk berbagi
cerita tentang anak-anak dan cucu kita. Tiada teman untuk bermesraan bersama
Allah di sepertiga malam.
Ya Rabb.. dialah penglihatanku, dialah
matahariku.. dialah yang mau menerimaku dengan kondisiku yang BUTA tiada
berdaya.. dialah yang menyelamatkanku dari predikat perawan tua.. dialah
cahayaku.. dialah yang menemaniku disaat aku tak sanggup sendiri.. Ya Rabb,
jaga dia dalam cintaMU.. Aamiin..
Selamat
pagi matahariku.
Rindu itu kini perlahan semakin bergemuruh.
Kurasakan pucuk dedaunan di halaman mulai menguning. Kekasihku, izinkan aku
menjemput panggilan cintamu. Selamat datang matahariku.
@yulinsar
@yulinsar
0 komentar