Hari berjalan begitu lambat dari biasanya. Semangkuk
bubur ayam itu terlihat tak begitu menarik. Hambar. Aku bosan dengan kegiatan
yang seperti ini saja. Aku butuh pemandangan baru. Bukan pemandangan sesak di
lorong rumah sakit setiap hari. Melihat orang meninggal setiap hari. Menghirup aroma
khas rumah sakit. Tusukan jarum, bilik kamar, toilet yang bau obat bahkan telah
menjadi keseharianku. Aku tak tahan lagi.
Ini adalah minggu ke empat aku berada
disini. Melihat pengunjung berganti setiap harinya. Menahan sedih dihati atas
satu tanya yang susah aku temui jawabannya.
“Kapan aku sembuh, Ma?”
“yang sabar ya nak, kamu akan sembuh, pasti”
Setiap hari hanya mama yang menjagaku. Papa
sibuk dengan pekerjaannya. Atau memang ia tak peduli? Yang ia hanya banggakan
hanya kak Duta saja. Aku benci Papa! Aku benci kak Duta! Lulusan Finance dari
Australia itu hanya berpura-pura baik padaku, ia menyesal karena telah merampas
Papa dariku. Aku benci pekerjaan papa! Ia terus saja merenggut kebersamaanku
dengan Papa.
“Aku
butuh Papa, bukan uang Papa”
**
Pagi ini, masih kuhirup udara yang sama
dari bangsal rumah sakit. Menikmati kerontokan rambutku yang indah setiap
harinya. Sarapanku pagi ini suntikan lagi. Segenggam obat lagi. Ah, kulihat
kalender hari ini harusnya aku kemo. Huh, sudah kebal rasanya. Terduduk di
kasur ini hanya tinggal menyambut pelahap maut. Malaikat yang sudah berlalu
lalang di lorong rumah sakit. Tinggal beberapa langkah menuju kamarku ini.
“Ma, Papa kapan menjengukku?” Tanyaku pada
Mama
“Papa pasti jenguk kamu kok, ini dimakan
dulu” jawab Mama.
Perlahan sambil menikmati suap demi suap
bubur, aku yakin, Papa tak mungkin datang. Mama bilang begitu hanya ingin
menghiburku. Aku tahu Ma, Papa takkan pernah kesini, karena memang aku tak
pernah dihiraukannya. Aku tak pernah dianggap olehnya.
Tok tok tok. Suara ketukan dari luar kamar.
Duta kembali datang, kali ini ia membawakanku banyak buku untukku. Ia tersenyum
tanpa menghiraukan bahwa aku menolak kedatangannya. Mama mengerti, ia segera
mengajak kak Duta mengobrol ke luar. Aku lirik buku-buku bawaannya. Kubaca sekilas
judulnya, hampir semua adalah bacaan tentang Agama, Islami.
“Kamu apa kabar Ta?” Tanya Mama.
“Baik ma, aku baik-baik saja” jawab kak
Duta.
“Mama tahu, kamu bohong. Kamu pasti sakit
kan melihat kelakuan adikmu seperti itu”
“Mama tahu kamu sayang sekali dengan
adikmu, relakan saja dia, biarkan dia lakukan apa yang ingin ia lakukan”
“Tapi Ma, Nisa perlu mendapatkan semangat
hidup kembali, ia tak boleh terus-terusan begini, Duta sayang sama dia Ma,
meskipun adik Duta benci sama Duta, Duta gak peduli Ma. Biarkan ia menyalahkan
Duta, karena memang Duta yang salah.. Papa juga titip pesen.. Dia gak boleh
tahu sebelum ia sembuh”
“Kamu gak salah Ta.. ka..”
“Sudahlah Ma, Duta ikhlas, Mama juga kan?”
Pecahlah tangis Mama. Aku hanya bisa
mendengarnya dari luar. Dendamku semakin membara padanya. Aku sudah tak tahan
lagi, rasanya inginku lumat-lumat kepalanya. Dia sudah menyakiti Mama, buktinya
ia membuatnya menangis.
“Mamaaaaa!” Aku panggil Mama.
Mama segera memasuki kamarku. Nah, benar
kan Mama menangis. Terlihat Mama menyimpan sesuatu padaku. Namun tak ku
hiraukan, karena kakak yang aku benci itu memang sudah aku lumat habis namanya
dalam ingatan.
**
Hari terakhirku di rumah sakit, kata dokter
aku sudah boleh pulang, kankerku sudah bersih. Aku sehat. Aku juga bahagia
dapat kembali ke rumah, meskipun hanya berdua dengan Mama, tanpa Kakak Pelahap
mimpi dan Papa yang aku sangat benci padanya. Selama aku sakit, tak pernah
sedikitpun ia menampakkan batang hidungnya.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu.
Kulihat Mama terkadang ingin mendekatiku. Namun ia selalu mengelak jika aku
tanya. Mama juga sudah tak terlihat lagi sedang menelpon seseorang, ia jarang
menelpon Papa, atau Papa yang sudah benar-benar melupakan keluarga ini? Sesekali
Kak Duta datang berkunjung, kini aku sudah mulai melunak padanya. Tak sebenci
dulu.
**
“Nisa, Mama ingin bicara sama kamu Nak”
“Iya Ma, ada apa?”
“Waktu kamu di rumah sakit, sudah berapa
banyak orang yang kau lihat keluar-masuk kerumah sakit nak?”
“Banyak Ma”
“Dari sekian banyak, apakah kamu
mengenalnya?”
“Tidak ada yang ku kenal Ma”
“Apa yang kau rasakan jika mereka meninggal
Nis?”
“Mungkin aku akan sedih Ma, tapi tak
sesedih jika Mama atau keluarga yang lain meninggal”
“Oh, begitu. Jika ada orang yang pernah kau
kenal dekat, namun kau menjauhinya, dan tak kau sangka ia meninggal, apa yang
kau rasakan Nak?”
“Tak tahu Ma, pasti Rumit sekali”
Aku tak tahu arah obrolan ini kemana. Aku hanya
melihat senja begitu memancarkan pesona jingganya. Meskipun gelap akan merambah
menutupi keindahannya. Mama lalu memberikanku secarik kertas berwarna oranye. Warna
kesukaanku. Aku bertanya pada Mama itu apa, Mama hanya menyuruhku untuk
membacanya, katanya itu dari orang yang selalu mencintaiku.
“Assalamualaikum
permata hatiku, Dea Annisa.
Mungkin
saat kau baca surat ini semuanya sudah terlambat. Aku yang sedari dulu
mengharapkanmu memaafkanku karena aku tak dapat memenuhi semua permintaanmu
sebab aku lebih mendahulukan kepentingan kakakmu.
Kamu
tahu Nak, Papa sangat menyayangi kalian berdua, sama. Namun, kau selalu
menganggap aku tak adil. Aku bingung Nak.
Papa
senang sekali saat bidan dekat rumah itu bilang bahwa Papa akan mempunyai anak
perempuan, lengkaplah sudah kebahagiaan Papa dengan hadirnya dirimu. Kian hari
dirimu semakin lincah, Papa sering menggendongmu di atas kepala Papa, kau ingat
itu? Dulu saat kau terjatuh dari sepeda karena kakakmu kurang menjagamu, Papa
marah sekali dengan kakak, kakak bahkan ngambek sekali dengan Papa. Namun ia
menyalurkan dendam padamu dengan prestasinya. Papa bangga sekali saat Kakakmu
diterima beasiswa ke luar negeri. Papa tak pernah tahu Nak, bahwa diam-diam
dihatimu terselip iri karena kesalahan Papa yang selalu membanggakan kakakmu.
Papa tahu kamu marah, bahkan sangat marah.
Hati
Papa hancur saat tahu permata Papa menderita kanker, Papa menyesal sekali Nak. Papa
mewariskan kebiasaan buruk padamu. Makan junk food, tak sehat, kamu pun
menghirup asap rokok Papa. Saat kamu masuk rumah sakit, Papa bingung sekali. Biaya
perawatanmu mahal sekali. Apalagi harus rawat inap, obat kemo, ah Papa tak
punya uang banyak Nak. Akhirnya Papa putuskan untuk bekerja apa saja untuk
menutupi biaya rumah sakitmu. Kakakmu sering mengingatkan bahwa gajinya cukup
untuk merawatmu. Tapi Papa benar-benar menebus kesalahan Papa padamu, Papa
bekerja siang malam untukmu.
Tapi
karena kebodohan Papa, Papa terlalu banyak menghisap nikotin Nak. Paru-paru
Papa tak kuat lagi menampung racun-racun itu. Akhirnya Papa masuk rumah sakit,
satu rumah sakit denganmu Nak, ya Papa kena kanker paru-paru stadium akhir. Terlambat
untuk berobat. Disini papa mengerti bagaimana perasaanmu Nak, kanker itu
menyakitkan. Namun lebih menyakitkan jika tak dianggap oleh anak sendiri.
Maafkan
papa yang tak bisa memberikan yang terbaik untukmu Nak, maafkan Papa yang tak
adil dimatamu. Maaf karena Papa tak bisa mencium keningmu, tak dapat lagi menjagamu.
Sayangi
Mama Nak, sayangi Kak Duta, ia tak salah, Papa yang salah.
Jangan
lupa shalat ya..
Dari
seseorang pendusta yang kau panggil Papa..”
Mataku berkabut, tenggorokanku sakit. Senja
kali ini benar-benar gelap. Benar-benar gelap. Maafkan aku Pa. Aku membuatmu
sebegitu besar merasa bersalah. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu.
@yulinsar
Di bawah langit senja
Cilodong
4 komentar
Nice post :)
BalasHapusTerimakasih sudah mampir :)
BalasHapusCeritanya OK. Kalau dikumpulkan bisa jadi buku nanti :)
BalasHapusAamiin. Terimakasih ya sudah mampir... :)
Hapus