Siang hari yang terik. Membuatku
tak ingin beranjak dari kelas yang berAC ini. Penghabisan semester ganjil hanya
tinggal menghitung hari. Ya, akhir-akhir ini aku sedang Ujian Akhir Semester
lima, semester yang cukup dibilang tua. Yeah! Liburan. Entah apa yang aku
fikirkan. Kawan-kawan lain sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan magang, aku
malah mempersiapkan untuk pergi jalan-jalan ke tempat yang selama ini aku
idam-idamkan. Aneh? Ya itulah aku. Itu adalah salah satu kepanjangan dari
namaku. Anis, Aneh tapi manis. Whatever lah! Is ME! Haha.
“Nis, kamu gak pulang ke kosan?”
Tanya Lala teman sekelasku.
“Mager banget, panas gini. Mau
ngadem dulu bentar, hehehe” Jawabku.
“Oh ok deh, aku duluan ya!
Assalamualaikum”
“Waalaikumussalam”
Jarum jam sudah menunjukkan pukul
3 sore, tapi matahari masih perkasa menerangi bumi. Ah, mau tak mau aku harus
pulang ke kosan.
--
JEDDARRR!!!
Suara petir ditengah hari bolong
itu datang, membuat gemuruh kian bersahut-sahutan. Suara petir itu bukan datang
dari langit. Melainkan dari dalam hatiku. Seakan batin ini ingin teriak, tapi
hanya tertahan dan mengalirkan muara dari kedua pipiku.
“Kamu harus nikah, sudah Abi
jodohkan dengan anaknya teman Abi waktu Abi sekolah di Turki sana. Anaknya
tampan, dia sudah lulus S2 di Bandung. Sekarang jadi dosen, juga lagi lanjut
studi S3 di kampus kamu. Abi lupa namanya siapa, tapi Abi yakin dia itu baik
untuk kamu” perintah Abi panjang lebar.
Nikah? Harus? Dijodohin? Aku
berharap ini hanya mimpi di siang hari. Benar-benar hanya mimpi. Tapi sayangnya
sudah kucubit berkali-kali pipi ini, ini bukan mimpi. Bahkan sudah kucubit
teman sekamarku hingga dia mencubit balik dengan kerasnya, ternyata ini memang
bukan mimpi.
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!! Aku
masih mau traveling Abiii, aku masih mau kuliah yang focus dulu, aku belum bisa
ngurus rumah telaten, aku belum siap ruhiyahnya, aku belum, aku belum, aku
belum SIAP!
Sayangnya kata-kata itu hanya
muncul dipikiran liarku. Untuk berkata ‘Ah’ saja aku tidak berani. Akhirnya aku
hanya bilang padanya bahwa akan kupikirkan matang-matang. Abi, aku selalu tak
sampai hati menolak permintaan orang tua, apalagi orangtua sepertimu yang amat
baik padaku.
Hari-hariku kemudian menjadi
aneh, entah kenapa fikiranku melayang-layang dari mulai soal-soal UAS, liburan,
bahkan dengan tawaran yang memaksa dari Abi. Huft liburan kali ini akan
membuatku memikul pikiran yang bercabang.
--
“S3 Nis? Umurnya udah tua dong?
Kok kamu mau?” tanya Sasa histeris
“Gatau Sa, liat mukanya aja
belom. Ya, aku bisa apa? Udah kaget duluan pas disuruh nikah, gimana mau nanya
umur, tampang atau latar belakangnya. Kenapa jadi gini ya hidupku” keluhku
“Huss! Semua itu kan udah diatur
Nis, jodoh, rezeki, maut itu kan udah ditentukan sejak penciptaan kita. Kamu
tahu itu kan Nis?” ucap Sasa
“Lagipula, diluar sana banyak loh
akhwat-akhwat yang belom nikah tapi udah berumur, nah kamu.. tawaran depan mata
kok malah lesu..” lanjutnya
Aku terdiam, membenarkan
perkataannya dalam logikaku. Tapi, lagi-lagi hatiku belum bisa menerimanya.
“Terus juga Nis, kamu tau kan
nikah itu ibadah, nurutin nasehat orang tua dalam hal baik itu juga ibadah,
masa kamu mau nolak dua ibadah sekaligus” lanjut Sasa lagi
“Tapi kan, ibadah yang lain juga
banyak Sa. Kamu juga tau itu kan? Kalo kamu di posisi aku gimana pendapatmu?”
tanyaku
“Hmm, aku sih cari tahu dulu
gimana-gimananya. Baru deh bisa buat kesimpulan. Seharusnya sih waktu itu kamu
tanya-tanya dulu sama Abi kamu tentang orang itu” jawabnya
“Iya sih, tapi aku kan ga
kepikiran itu Sa. Terus aku gimana dong?”
Membuat keputusan tanpa
pertimbangan bukanlah tipeku. Tapi, untuk yang satu ini mengapa aku seketika
lupa? Terlalu bermain dengan perasaan, dan itu juga bukan tipeku. Kali ini aku
harus segera pulang dan mengonfirmasi pada Abi mengenai hal ini.
--
Langit mendung tak berarti hujan.
Senja ini begitu indah, oranye menyelimuti langit dengan apik. Membuat
penampakannya begitu menenangkan hati. Aku masih terduduk di balkon rumah.
Memikirkan perkataan Abi tadi siang saat aku sudah di rumah. Mungkin ya, kali
ini aku benar-benar harus menata hidupku dan menjalaninya, dengan seorang
disisi.
“Eh, anak Umi yang sholehah sudah
pulang” sambut Umi dari dalam rumah
Aku hanya tersenyum dan mencium
lembut punggung tangan yang lembut itu.
“Anis sudah pulang? Istirahat
dulu sana di kamar ya” sambut Abi
“Iya Abi, tapi Anis mau bicara
sama Abi nanti ya”
Abi tersenyum dan mengangguk
menjawab pertanyaanku.
Kupersiapkan pertanyaanku secara
rinci. Mulai dari bertanya alasan Abi mengapa ingin aku menikah, mengapa sudah
memilihkan seseorang? Mengapa tidak menungguku lulus kuliah dulu? Dan puluhan
pertanyaan sudah kupersiapkan baik-baik. Aku turun ke bawah menemui Abi di
ruang baca. Kukumpulkan seluruh keberanianku untuk memulai bertanya. Jantungku
berdegup kencang, melebihi saat menunggu nilai UAS keluar.
“Assalamualaikum, mmm Abi, mm
Anis boleh ganggu?” tanyaku gugup
“Waalaikumsalam, boleh banget
anakku sayang, sini duduk sini” jawabnya sambil membenarkan posisi duduk
“Mmm, Anis mau tanya.. mm”
“Mau tanya apa sih Nis, ampe
gugup begitu”
“Tapi Abi jangan marah ya?”
“Kapan sih Abi pernah marah sama
Anis?”
“Hehe, mm Anis mau tanya.. kapan
Abi ketemu Umi dan yakin untuk menikah?” tanyaku
Alhasil, itulah yang keluar dari
kedua bibirku. Seakan lidahku kelu untuk bertanya tentang hal-hal yang sudah
kupersiapkan tadi.
“Haha, itu doang? Abi rasa kamu
beneran harus punya suami biar punya kisah juga kaya Abi dan Umi” ledeknya
Nah kan? Malah diledek.
“Abi itu ketemu Umi…”
Aku tersenyum sendiri mendengar
cerita dari Abi. Mungkin Umi akan Geer kalau saja beliau mendengar cerita yang
dikisahkan Abi. Mereka bukan dijodohkan, hanya saja tidak sengaja berjodoh.
Sebelumnya, Abi memang sudah menyimpan sudut hati tersendiri untuk Umi, adik
tingkat di tempat kuliahnya dulu. Abi sudah bersiap dan menyatakan siap menikah
pada guru ngajinya, dan sudah siap mengkhitbah Umi saat itu. Namun, saat
bertandang ke rumah Umi, kata Ayah dari Umi yang kini adalah Kakekku, Umi sudah
mau dijodohkan sama guru ngaji Umi, dan sekarang sedang taaruf dengan yang
dijodohkan itu. Terpatah-patahlah hati Abi seketika itu.
Ditengah kegalauannya saat
pulang, dijalan ia ditelepon oleh Ustadz Aris yang tak lain adalah guru ngaji
Abi, katanya Abi di suruh ke rumahnya Ustadz Aris. Abi kaget begitu sampai
rumah Ustadz, karena ada sandal Umi di rumah Ustadznya. Abi menyangka bahwa
Ustadz Aris yang akan meminang Umi untuk jadi istri kedua. Makin hancurlah hati
Abi saat itu oleh prasangkanya, saat ingin berbalik pulang ia ditahan oleh
Ustadz dan disuruh duduk, dan ternyata maksud Ustadz Aris adalah ingin
menjodohkan Umi dengan Abi yang menurut pandangannya cocok dan sesuai visi
misinya. Umi, Abi, betapa beruntungnya kalian.
Jalan takdir mereka begitu indah.
Menurut pandanganku, inilah cara kerja hidup terkadang alurnya tak selalu kita
mengerti.
(Bersambung...)
0 komentar