Bagaimana Jika Bukan Kita?
Senja masih malu-malu menunjukkan jingganya. Tiada angin, hanya sedikit kabar yang kudapatkan darinya. Hati ini terus berdesir sejak kemarin. Ya, sejak kemarin aku ‘melihat’nya kembali hadir di hadapanku. Meski tak wujud nyata, hanya dalam mimpi pagi buta, aku hampir meyakini itu benar adanya.
Sekali lagi aku berkisah pada senja, tentang sesuatu yang amat menggelitik jemariku segera menuliskannya. Sebelumnya, aku tak sengaja membuka berkas-berkas puisi tentang seseorang. Debaran-debaran itu memang hadir kembali. Tapi bukan seperti di awal bagaimana puisi itu dibuat. Debaran itu lain dari biasanya.
“Untukmu,
yang untuk kesekian kalinya kita bersua lewat pena. Yang aku ingin sampaikan
padamu pertama kali adalah, bagaimana jika bukan kita? Apakah masih goresan
pena itu tercipta? Aku harap masih. Karena jika kau menghentikannya, bukankah
itu tandanya memang teruntuk satu nama yang sekian lama bersemayam di hati? Aku
ingin mengajakmu pada sebuah kisah. Mungkin ini kisah yang terlahir kemarin. Simak
baik-baik.
Alkisah
seorang lelaki bertemu seorang wanita, wanita ini biasa-biasa saja. Hingga pada
suatu saat momen itu bertemu, kita sebut saja mereka memiliki perasaan yang
sama. Namun, keyakinan keduanya menahan mereka untuk mengungkapkan perasaan
mereka masing-masing. Saat perasaan sudah tak terbendung lagi, mereka saling
berbalas tulisan. Yang entah disadari atau tidak merupakan pengutaraan perasaan
mereka satu sama lain. Hari berganti hari, tahun pun berganti. Masih pada hal
yang mereka lakukan sejak lama, berbalas tulisan. Hingga pada saatnya wanita
itu menikah dengan lelaki lain, yang bukan sejak lama berbalas tulisan
dengannya. Lelaki itu pun menyadari, bahwa tulisannya tak berarti apapun bagi
sang wanita. Pula bagi sang wanita, ia pun menyadari bahwa tak ada yang tahu bagaimana
kesudahan kisah mereka.”
Mengertikah apa yang kumaksudkan
dalam kisah tersebut? Bagaimana jika bukan kita? Bagaimana jika bukan aku? Bagaimana
jika bukan kau? Maka hatiku sudah bersemayam lama sebuah nama tanpa kisah yang
jelas. Maka hatiku sudah menginginkan sebuah nama, yang bahkan aku tak berhak
menentukannya. Sebuah nama yang bahkan tidak jelas kesudahannya.
Tulisan ini ingin ku akhiri dengan
tegas. Tak mudah menjaga kesucian hati, mari kita berbenah diri sebelum
takdirNya benar-benar jelas terlihat oleh mata.
14 Desember 2014
@yulinsar | Depok
0 komentar