Review Novel Ayat-ayat Cinta 2
Sampul Depan Buku Ayat-ayat Cinta 2 |
Judul : Ayat-ayat Cinta 2 (Sebuah Novel Pembangun Jiwa)
Penulis : Habiburrahman El Shirazy (Kang Abik)
Penerbit : Republika
Sampul : Softcover
Cetakan : ke-1
Jml hlm : vi + 690 halaman
ISBN : 978-602-0822-15-0
Islamophobia, Entrepreneurship, dan Kembalinya Cinta yang Hilang
Fahri Abdullah, seorang peneliti dan sedang menyelesaikan Ph.D di bidang Filologi di Albert-Ludwigs-Universitat Freiburg, Jerman. Ia diminta untuk menjadi dosen pengganti di The University of Edinburgh, menggantikan Profesor Charlotte, Fahri membimbing mahasiswa memasuki diskusi tentang ilmu Filologi. Bermula dari Profesor Charlotte pula lah Fahri didaulat untuk melaksanakan debat di Oxford. Oxford Debating Union, forum debat prestisius yang getol mengadakan debat kelas berat. Fahri diminta sebagai pakar Islam, Timur Tengah, dan Asia Tenggara.
Di Stoneyhill Grove, sebuah kompleks kecil berisi hanya sebelas rumah di kawasan Stoneyhill. Salah satunya adalah rumah Fahri, rumah bercat merah tua kecoklatan dan putih. Tempat tinggal yang apik bagi seorang pemuda sepertinya. Menjalani kehidupan yang masih dipenuhi oleh bayang-bayang istri tercintanya, Aisha. Ia tak pernah tahu keberadaan Aisha, kabar mengatakan bahwa istrinya turut menjadi korban kebiadaban zionis di Palestina. Jasadnya tidak pernah ditemukan. Fahri mendiami rumah bersama paman Hulusi, seorang pria setengah baya asal Turki. Paman Hulusi merupakan salah satu yang pernah diselamatkan Allah dengan perantara Fahri untuk kembali pada jalan yang benar. Meninggalkan masa-masa jahiliyyahnya.
Islamophobia yang sangat kentara terjadi tepat di depan rumahnya. Ketika Fahri menemukan tulisan yang berbunyi nada-nada merendahkan bahkan menyakitkan terpampang di kaca mobil SUV miliknya. Pemuda itu khawatir jika yang melakukan adalah tetangganya, ia tidak ingin melaporkan kejadian ini sebab pikirnya tidak ingin memperburuk hubungan dengan tetangganya.
Terlalu baik, mungkin itu pikir paman Hulusi saat Hoca yang dihormatinya itu begitu mudah menolong orang-orang yang bahkan selama ini merendahkan mereka sebagai seorang muslim. Bermula dari menolong wanita depan rumahnya yang mabuk, Brenda. Lalu nenek yahudi di sebelah rumahnya, nenek Catarina. Bahkan rumah milik nenek Catarina yang awalnya akan dijual oleh Baruch yang anaknya sendiri, dibeli oleh Fahri demi ketenangan dan nyamannya hari tua nenek itu. Kebaikan itu memanjang hingga Fahri menolong orang yang sudah jelas-jelas menabuhkan genderang perang padanya, Keira, pemain biola berbakat yang diam-diam di biayai sekolahnya hingga menjadi juara dunia. Demikian juga pada Jason, anak lelaki yang setiap bertemu mengacungkan jari dan memaki dirinya bahkan sering mencuri di toko milik Fahri.
Semenjak menikahi Aisha, Fahri mau tak mau harus belajar mengelola bisnis yang dimiliki Aisha. Setiap pemuda itu melakukan kebaikan, ia berharap agar pahalanya sampai pada istri tercintanya. Sebab Fahri pikir, bahwa semua bisnis yang dikelolanya saat ini adalah milik Aisha, Fahri hanya diberi amanah untuk menjaganya. Sikap yang supel, ramah, dan perhatian yang dimiliki Fahri membuat para karyawan dan rekan bisnisnya nyaman dan senang bekerjasama dengannya, hingga bisnisnya melebarkan sayap hingga ke luar negeri.
Bagaimanapun hatinya tetap merasakan kerinduan yang amat sangat pada Aisha, entah wanita yang dicintai itu masih hidup ataukah sudah mati. Hatinya terusik, kala seorang muslimah tunawisma berwajah buruk yang pernah ditolongnya bernama Sabina memiliki kemiripan tingkah laku dengan Aisha. Terlebih lagi makanan dan minuman yang dibuat Sabina persis sekali dengan buatan Aisha. Suatu kali Fahri terdiam di depan kamar Sabina menyimak bacaan qur’an yang dilantunkan muslimah itu, ia ingat persis nada yang dibacakan. Sesekali Sabina menangis memandang Fahri dari kejauhan di balik cadarnya, entah karena apa.
Desakan untuk menikah lagi semakin menguat, kala keluarga Aisha menjodohkan Fahri dengan Hulya, sepupu Aisha. berulangkali memikirkan, akhirnya Fahri melamar Hulya menjadi istrinya. Memiliki perawakan khas Turki yang mirip dengan Aisha, terlebih lagi Hulya juga pandai memainkan biola. Mereka dikaruniai seorang Umar, anak lelaki. Sabina yang selama ini tinggal bersama Fahri dan Hulya dengan senang hati mengasuh Umar seperti anaknya sendiri.
Namun kebahagiaan itu kembali diuji, Fahri dihadapkan pada situasi yang sama ketika kehilangan cintanya dahulu. Akankah Fahri menemukan kembali cintanya yang hilang?
***
Menghidupkan Kembali Nilai-nilai Keislaman
Seperti judul novel ini sendiri, sebagai pembangun jiwa. Banyak hikmah yang disampaikan kang Abik dengan lembut tapi menggetarkan hati. Fahri dengan harta yang dimiliki tidak segan-segan menolong seorang tetangga yang bahkan membencinya, hanya karena ia seorang Muslim. Sebegitu berjuangnya Fahri membalikkan persepsi penderita Islamophobia bahwa Islam adalah agama kasih sayang, bukan teroris yang selalu menebarkan kebencian. Kesederhanaan yang dilakukan Fahri meski ia seorang pebisnis dunia. Tegas dan disiplin sebagai seorang alim. Mengingatkan kita sebagai muslim yang baik haruslah mencerminkan Islam itu sendiri, bukan sebaliknya.
Sosok Fahri yang digambarkan dalam novel ini seperti pemuda yang hampir sempurna. Semua aspek kehidupannya seolah-olah menjiplak aspek hidup Nabi Muhammad, toh memang kita sebagai muslim memang kita diharuskan mencontoh akhlak Rasulullah. Akhlak yang mulia dengan kemasan sesuai masanya. Terlebih lagi dengan kehidupan minoritas di luar negeri, seperti penggambaran Islam saat pertama kali di syiarkan di tengah kejahilan masyarakat.
Novel ini layaknya cermin, bagaimana keadaan umat Islam saat ini dan bagaimana cara menyiarkan ajaran yang mulia ini. Islam, rahmatan lil alamin. Bukan dengan keras hati lagi mengancam, namun dengan lembut dan penuh kasih sayang.
***
Bukan Sekadar Novel
Ekspektasi saya di awal, pertemuan Fahri dengan cintanya yang hilang mengalir begitu saja. Ternyata kang Abik mengemasnya menjadi rumit dan membuat penasaran. Cita rasa sastra khas yang dimiliki kang Abik membuat setiap kisah yang mengalir mempunyai hikmah yang lembut tapi menggetarkan jiwa. Paling berkesan adalah kebiasaan Fahri yang selalu berzikir “Laa haula wa laa quwwata illaa billaah..” ketika berada dalam kendaraan, secara tidak sadar saya sebagai pembaca jadi menirukan kebiasaan tersebut ketika sedang berkendara. See? Bagaimana bacaan itu berpengaruh pada pembacanya. Lika-liku kehidupan semua tokoh menjadi menarik dan dikupas tuntas. 690 halaman jadi terasa sangat “berisi”.
Latar belakang cerita dan sudut pandang juga berbeda dari novel yang pertama. Kali ini berlatar di Skotlandia yang sangat berbeda dengan novel pertama yang berlatar Mesir, Alexandria. Setiap halaman Ayat-ayat Cinta 2 akan membuat kita penasaran sampai ke akar-akarnya, ilmu yang didapatkan terutama ketika debat antara Fahri dengan kelompok agama lainnya membuka pengetahuan kita lebih luas lagi. Insyaa Allah, novel ini sangat layak untuk di baca sebagai pembangun jiwa. Recommended!
Ditulis oleh Ayu Lindasari
Depok, 23 Februari 2016
0 komentar