dok. pribadi |
"Bagaimana pendapatmu, Nis?" tanya seorang kawan di sebelahku. Lina namanya.
Aku yang sedari tadi tidak begitu memperhatikan diskusi yang berlangsung ruang bicara menjadi kikuk.
"Eh, pendapatku?" jawabku.
Kini satu ruangan menatap padaku. Termasuk dirinya. Mereka semua terdiam seolah menanti jawaban dari mulutku.
"Ohya, kalau menurutku sih... Bla bla bla"
Diskusi hari itu berjalan hangat. Sebab matahari itu ada di sini.
***
Kamu seringkali bertanya, mengapa aku betah berlama-lama di sini. Duduk di tepian danau kampus, sendirian. Menatap jauh ke depan, kadang mengawang. Aku jadi bingung, ternyata dirimu begitu memperhatian detail bagaimana dan apa yang aku lakukan. Yah, mungkin hanya sebatas perhatian dari seorang teman. Berbeda jika kita sama-sama tidak mengenal, akan sangat mungkin pembicaraan kita saat ini tidak terjadi.
Semakin lama, semakin menjadi tidak wajar. Perasaan yang aku miliki jadi berlebihan. Tiba-tiba aku memikirkan tentang kita ke depannya. Entah sejak kapan ada harap yang muncul dari hatiku. Diam-diam aku menyebut seseorang dalam doaku.
Aku selalu khawatir dengan perasaan yang kumiliki. Apakah kamu menyadarinya atau tidak? Kekhawatiran itu makin menjadi kala aku menyadari bahwa aku hanya perempuan biasa. Aku tidak mungkin menyatakan bahwa aku siap untuk kamu ajak berjuang, meski aku ingin. Aku tidak bisa menjelaskan padamu apa sebenarnya maksudku.
Dibalik kata-kataku, mengalir dengan sendirinya perasaan itu. Entah kamu menyadarinya atau tidak. Lewat tulisanlah aku dapat membicarakanmu secara utuh. Dengan cara itu aku menuliskan harapku, entah kamu setuju atau tidak.
Lewat doa-doa yang kuucapkan dan kutuliskan, apakah kamu sudah menerima sinyal tersebut? Aku khawatir jika orang lain yang menangkap sinyal itu, kemudian ia lebih bergegas daripada dirimu. Saat kamu terlambat, aku tak tahu. Takkan pernah tahu apa warna kemeja yang kamu kenakan hari ini. Sebab aku, sudah terlanjur bersama yang lain.
Ciputat, 17 Maret 2016
@yulinsar
0 komentar