Djuna
Namanya
Djuna, lelaki berkemeja biru yang kutemui siang tadi. Ia karyawan baru
di sini. Mejanya berhadapan denganku. Kukira ia teman
bosku, karena yang kulihat ia dekat dengannya. Sosialisasinya bagus,
mudah akrab dengan siapapun. Termasuk aku, yang disapanya tiap pagi,
siang, bahkan ketika pulang kantor. Aku tak pernah menanggapi banget apa
yang ia lakukan toh hanya sapaan biasa antar rekan kerja. Sampai suatu
saat, teman-teman di ruanganku heboh menjodoh-jodohkan aku dengannya.
Hah!
Yang benar saja. Kita yang ngobrol aja gak pernah, kok bisa-bisanya
diledek begitu. Jangan tanya sedingin apa aku jika berhadapan dengan
lelaki. Karena selain membatasi obrolan , dengan yang belum akrab. Aku
juga yang lama beradaptasi dengan orang-orang di sekitarku. Butuh waktu.
Harus orang lain dulu yang memulai obrolan, aku baru bisa menanggapi.
Itu juga kalau lawan bicaraku tahan dengan sikap dinginku ini.
Sampai
satu saat. Di sela waktu istirahat siang, sekembalinya aku dari mushala
dan makan siang. Aku kembali ke ruangan kantor, kukira sepi. Maka aku
langsung masuk saja menuju meja kerja. Deg! Ternyata di sana sudah ada
Djuna yang sedang membaca mushaf duduk di kursi kosong sebelah kiri meja
kerjaku, menghadap arah belakang. Aku yang terkejut lantas beristighfar
dalam hati.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam" jawabnya.
Kursi itu berbalik.
"Eh, Sekar. Habis sholat?" ucapnya.
"Iya" jawabku singkat.
Aku lekas bergerak merapihkan mejaku yang sedikit berantakan. Setelah berperang melawan dateline 2 hari kemarin.
"Ohya Sekar, tinggal di daerah mana?"
Pertanyaan
pembuka itu yang kini masih kuingat detailnya dengan baik. Kalimat
itulah yang menghantarkan dua pejalan kaki sendirian menemukan teman
dalam perjalanannya. Tujuan yang sama akan menemukan orang-orang dalam
perjalanan.
Belakangan
aku baru tahu. Mas Djuna bilang, ia melontarkan pertanyaan satu itu pun
butuh menunggu momen yang pas bagaimana caranya supaya aku yang kaku
ini, bisa mencairkan ruang beku di antara kita.
"Ternyata aku cuma butuh mengetuk pintu lebih dahulu, untuk bicara sama kamu" katanya.
"Dan aku, sebenarnya menunggumu untuk bertanya lebih dahulu" ucapku.
"Kita jodoh ya? Hehe"
"Insyaa Allah, aku yang meminta padaNya"
"Aku juga"
Ruang
beku itu kini menjadi ruang paling nyaman untuk ditinggali. Ruang yang
pas untuk saling bertumbuh, menyemangati, mengingatkan pada tujuan.
Aku pendiam? Tidak juga.
Batinku lebih cerewet ketika berbicara pada Allah, untuk memintamu menjadi teman dalam perjalanan kita nanti.
Alhamdulillah. Ternyata itu kamu.
By: Sekar
Dikarang oleh ©yulinsar.
Pagi hari menjelang siang.
Diupload di sela-sela jam ngajar.
Depok, 25 September 2017.
0 komentar